• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

  • Beranda
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Rizki Blog's

1. CPI-Corruption Perception Index


Tujuan diadakan survey CPI untuk melihat adanya suap/pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Pegawai Negeri dan Politisi yang melakukan penyalahgunaan jabatan.

Dengan skor 40, Indonesia meningkat dua poin pada CPI. Perekonomian baru yang menjanjikan disertai dengan represi masyarakat sipil dan institusi pengawasan yang lemah. Kemandirian dan keefektifan komisi anti korupsi Indonesia, KPK, saat ini sedang digagalkan oleh pemerintah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dipandang sebagai simbol kemajuan dan modernisasi, tetapi sedang mengalami kehilangan otonomi dan kekuasaan.

2. GCB - Global Corruption Barometer



Survey GCB dilakukan untuk melihat bagaimana korupsi di suatu Negara dapat mempengaruhi kehidupan umum terutama rakyat jelata yang dilakukan oleh Politisi atau Partai Politik.

Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat ke-2 yang menjelaskan bahwa presentasi korupsi terus meningkat. Korupsi masih terjadi dalam sektor layanan publik yang diselenggarakan negara. Ketika berinteraksi dengan layanan publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap. Polisi adalah layanan publik dengan suap tertinggi, diikuti dengan sektor administrasi dan kependudukan. Dalam konteks Indonesia, korupsi masih meningkat, dengan lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR, DPRD, birokrasi, sektor pajak dan polisi dipersepsikan sebagai lembaga yang korupsi.

3.  BPI - Bribe Payer Index



Survey BPI dilakukan untuk melihat adanya kasus suap yang biasanya terjadi pada Sektor Bisnis.
Hasilnya, dari 153 observasi yang dilakukan, Indonesia memiliki score 7,1 yang artinya harus terus meningkatkan dan memberikan tindakan lebih dalam kasus suap menyuap.

4. PERC - Political and Economic Risk Consultancy


Survey PERC dilakukan untuk melihat resiko korupsi dalam politik dan ekonomi.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara Asia terburuk ketiga dalam sistem birokrasi. Survei itu akan menjadi cermin bagi upaya reformasi birokrasi di Indonesia. Persepsi akan korupsi yang terjadi di Indonesia masih terbilang tinggi dan mencapai nilai 7,57.

Para pelaku bisnis di Indonesia merupakan negara paling korup di kawasan Asia Pasifik. Ini tentu berkaitan dengan kinerja birokrasi, sehingga persoalannya tidak akan selesai kalau hanya mengandalkan penindakan. Ini harus diatasi dengan mulai membangun komitmen

5. GCI - Global Competitiveness Index

Untuk mengukur daya saing yang menjadi penentu dari pertumbuhan jangka panjang dan faktor esensial dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

Negara (Insitusi (Insitutions), Infrastruktur (Infrastructure), Lingkungan Makroekonomi (Macroeconomic Environment), Kesehatan dan Pendidikan Primer (Health and Primary Education), Pendidikan Tinggi dan Pelatihan Peterampilan (Higher Education and training), Efisiensi pasar barang (Goods Market Efficiency), Efisiensi pasar tenaga kerja (Labour Market Effiency), Pengembangan pasar Finansial (Financial market development), Kesiapan Teknologi (Techological readiness), Besaran pasar (Market Size), Kepuasan berbisnis (Business Sophistication) dan Inovasi (Innovations).)

Indonesia menduduki peringkat ke 50 dunia, dari yang sebelumnya posisi ke 45. Posisi tersebut sangat jauh tertinggal dengan negara kawasan lain seperti Singapura yang menduduki posisi pertama dunia, Malaysia di posisi ke 27 dan Thailand di posisi ke 40.

Dengan adanya laporan global competitives index yang diterbitkat WEF (World Economic Forum)  ini dapat menjadi bantuan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan dalam mendesain kebijakan yang lebih baik. Sebab keputusan yang baik harus didasarkan pada kolaborasi pihak swasta dan publik. Sehingga mampu untuk menjadi upaya mengembalikan rasa percaya diri dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi karena perubahan ekonomi.

Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

Kasus Bank Bali

 

Kasus korupsi Bank Bali berawal pada saat pemilik Bank Bali, Rudi Ramli. Kesulitan menagih piutangnya pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada tahun 1997. Nilai dari piutang tersebut sekitar 3 Trilyun Rupiah. Setelah beberapa waktu, usaha penagihan tersebut tidak membawa hasil. Bahkan ketiga bank tersebut masuk ke dalam daftar bank yang akan disehatkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Setelah BPPN menolak tagihan dari Bank Bali atas piutang 3 bank tersebut dengan alasan tagihannya sudah terlambat atau lewat batas waktu penagihan, Bank Bali akhirnya menyewa jasa PT. Era Giat Prima, yang pada saat itu dipimpin oleh Joko Chandra dan Setya Novanto. Bank Bali dan PT. Era Giat Prima mengadakan perjanjian pengalihan hak tagih atau Cessie pada januari 1999. Perjanjian ini menyatakan bahwa separuh piutang yang dapat ditagih akan diberikan kepada PT. Era Giat Prima sebagai fee.

Direksi PT. Era Giat Prima, Joko dan Setya. Menggunakan kekuatan dan pengaruh politiknya untuk meloloskan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh partai golongan karya (golkar), termasuk setya novanto yang saat itu menjabat bendahara partai golkar, berusaha mengubah regulasi agar pengucuran dana oleh BPPN atas tagihan tersebut berhasil. Pada 11 Februari 1999, misalnya, terjadi pertemuan rahasia antara Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, petinggi Era Giat dan Wakil Direktur Utama Bank Bali, Firman Soetjahja membicarakan soal penarikan duit dari BPPN. Kepada Tempo, semuanya — kecuali Firman — saat itu membantah adanya pertemuan di Hotel Mulia tersebut (Tempo, 13  Agustus 2000).

Setelah pertemuan itu, Bank Indonesia dan BPPN setuju untuk mengucurkan dana untuk penyelesaian tagihan Bank Bali, jumlahnya Rp 905.000.000.000. Bank Bali mendapat sekitar 40% dan PT. Era Giat Prima mendapat 60%.

Adalah pakar hukum perbankan Pradjoto yang pertama kali mengungkap kasus ini ke mana-mana. Pradjoto ”mencium” skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana oleh Partai Golkar untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. “Fee itu terlalu besar dan janggal” ungkap Pradjipto kepada Tempo. Satu per satu keganjilan di balik pencairan duit itu juga terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.

Sadar bahwa Cessie tersebut bermasalah, BPPN membatalkan pengucuran dana tersebut. Kemudian akibat pembatalan itu, Setya Novanto menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan menang di tingkat pertama dan tingkat banding, namun dikalahkan oleh BPPN pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

PT. Era Giat Prima juga membawa kasus ini ke ranah perdata. Perusahaan itu menggugat Bank Bali dan Bank Indonesia agar mencairkan dana Rp 546 miliar untuk mereka. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan PT. Era Giat Prima berhak atas uang lebih dari setengah miliar rupiah itu. Kasus ini terus bergulir ke atas. Lewat putusan kasasinya, Mahkamah Agung kemudian memutuskan uang itu milik Bank Bali.

Di tengah proses pengadilan tata usaha negara dan perdata itulah, Kejaksaan Agung lantas ”mengambil” kasus ini. Kejaksaan menetapkan sejumlah  tersangka  dalam  kasus  ini,  antara lain Joko Tjandra, Syahril, Pande Lubis, Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng. Mereka dituduh melakukan korupsi uang negara. Kejaksaan menyita uang Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.

Kendati yang menjadi tersangka lumayan banyak, ternyata belakangan yang diadili hanya tiga orang: Joko Chandra, Syahril, dan Pande Lubis.

Kronologi Kasus

26 Januari 1998
Terbit Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang jaminan atas kewajiban pembayaran  bank  umum.  Keputusan  ini  untuk  mengatasi  krisis  kepercayaan  terhadap perbankan akibat likuidasi bank pada 1997.

8 Maret 1998
Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan Nomor 30 /270/KEP/DIR berisi petunjuk pelaksanaan penjaminan

1
8 Maret 1998
Bank Bali mengirim surat ke BDNI untuk minta konfirmasi soal utang-utangnya yang jatuh tempo pada 2 Maret 1998 sampai 16 Maret 1998 (6 transaksi).

9 Juli 1998
Tim manajemen BDNI melalui suratnya menyatakan, klaim atas kewajiban BDNI ke Bank Bali sudah diajukan ke BPPN.

21 Oktober 1998
Bank Bali kirim surat ke BPPN perihal tidak terbayarnya tagihan piutang di BDNI dan BUN yang timbul dari transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory notes. Tagihan pada BDNI (belum dihitung bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45 juta. Sedangkan tagihan ke BUN senilai Rp 200 miliar.

27 Oktober 1998
BI menyampaikan secara tertulis ke tim pemberesan BDNI tentang penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim Bank Bali dengan alasan klaim belum didaftar dan terlambat mengajukan klaim, satu klaim tidak terdaftar, dan satu klaim ditolak karena tidak termasuk dalam jenis kewajiban yang dijamin (transaksi forward-sell) senilai Rp 1,131 miliar.

23 Desember 1998
Bank Bali kembali mengirim surat ke BPPN perihal tagihan piutang ke BDNI dan BUN tidak kunjung berhasil. Bank Bali juga meminta BPPN membantu memecahkan masalah ini.

11 Januari 1999
Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Disepakati paling lambat tiga bulan kemudian tagihan itu sudah diserahkan ke Bank Bali. Kemudian, Bank Bali juga menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT Era Giat Prima Setya Novanto. Bank Bali menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di BDNI, BUN, dan Bank Bira ke PT EGP. Total tagihan itu mencapai Rp 3 triliun.

12 Januari 1999
Wakil Ketua BPPN Pande Lubis mengirim surat ke Bank Bali. Isinya, BPPN sedang mengumpulkan dan mempelajari data mengenai transaksi Bank Bali untuk mencari pemecahan masalah.
15 Februari 1999
BPPN meminta bantuan BI untuk melakukan verifikasi atas tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN dari segi kewajaran dan kebenarannya.

16 Februari 1999
BI tolak usulan Pande Lubis untuk meneliti kembali klaim Bank Bali karena sebelumnya BI sudah menyatakan secara administrasi tidak berhak.

18 Februari 1999
Pande Lubis mengeluarkan memo kepada Erman Munzir yang berisi usulan untuk memeriksa ulang klaim Bank Bali. Erman kemudian mengaku telah minta Direktur UPMB I memprioritaskan klaim Bank Bali.

22 Maret 1999
BI melakukan verifikasi terhadap tagihan-tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN. Hasilnya, antara lain, tidak ditemukan indikasi ketidakbenaran dan ketidakwajaran transaksi SWAP, forward dan L/C antara Bank Bali dengan BDNI, transaksi pembelian promes yang di-endorse BUN belum sesuai dengan prinsip praktek perbankan yang berhati-hati.

29 Maret 1999
PT EGP memberikan surat kuasa ke Bank Bali untuk dan atas nama PT EGP menagih ke BUN piutang beserta bunganya sebesar Rp 342,919 miliar dan mengkreditkannya ke rekening perusahaan itu. Hal serupa dilakukan terhadap penagihan piutang beserta bunganya ke BDNI yang besarnya Rp 1, 277 triliun dan mengkreditkannya ke rekening PT EGP.

1 April 1999
Bank Bali mengirim surat ke BPPN. Isinya ralat tentang jumlah tagihan ke BDNI dan BUN.

9 April 1999
BPPN menolak klaim tagihan Bank Bali terhadap BUN. Pengecualian terhadap BDNI. Meski begitu, harus ada persetujuan dari Bank Indonesia atau Menteri Keuangan.

14 mei 1999
Revisi Surat Keputusan Bersama Program Penjaminan Pemerintah:

·         Keterlambatan administratif bisa diterima selama tagihan valid,
·         Pengajuan klaim dapat dilakukan oleh salah satu pihak, baik debitor atau kreditor,
·         Ketidakberlakuan penjaminan diperluas sehingga mencakup kewajiban yang berasal dari pihak terkait,
·         Dana publik yang berasal dari perusahaan Asuransi dan Dana pensiun dikeluarkan dari kelompok pihak terkait,

1 Juni 1999
BPPN meminta BI melakukan pembayaran dana antarbank BB sebesar Rp 904 miliar. Dana Rp 904 miliar dari BI mengucur ke rekening BB di BI (piutang berikut bunganya).

3 Juni 1999
BPPN instruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan)

9 Juni 1999
Setelah  uang  keluar  dari  BI,  janji  PT  EGP  menyerahkan  surat-surat  berharga pemerintah yang harusnya jatuh tempo pada 12 Juni 1999 malah diubah dalam perjanjian penyelesaian. Isinya, Bank Bali agar memindahbukukan dana sebesar Rp 141 miliar ke PT EGP. Alasannya, tagihan Bank Bali dari BI hanya Rp 798 miliar, sehingga dikurangkan saja dengan uang yang mengalir dari BI sebesar Rp 904 miliar.

20 Juli 1999
Standard Chartered Bank melaporkan hasil due diligence dan menemukan:
·         Terjadi tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank sebesar Rp 905 miliar
·         Adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen, BPPN menolak untuk menerima kerugian tambahan tersebut sebagai bagian dari rekapitalisasi


23 Juli 1999
Penyerahan Bank Bali dari Bank Indonesia ke BPPN berdasarkan SK Gubernur BI no 1/14/Kep Dpg/1999 menyusul terlampauinya batas waktu pencapaian kesepakatan antara Standard Chartered Bank dan pemegang saham Bank Bali

30 Juli 1999
Ahli hukum perbankan Pradjoto membeberkan jaringan money politics, dalam transaksi penagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI, BUN dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun, yang melibatkan Setya Novanto (Dirut PT EGP), dengan dugaan adanya dukungan sejumlah pejabat tinggi negara.

5 Agustus 1999
BPPN membentuk tim investigasi di bawah pengawasan International Review Committee untuk menginvestigasi kebenaran transaksi cessie, meneliti dasar hukumnya, menelaah proses pengambilan keputusan atas transaksi, melakukan pemeriksaan, penelitian, pengumpulan data, dan penyelidikan terhadap pengalihan dana yang dilakukan Bank Bali ke PT EGP.

27 September 1999
Pejabat sementara Jaksa Agung Ismudjoko SH mengungkapkan, tim penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin ketua tim Pengkaji Pidana Khusus Ridwan Mukiat siap menyidik skandal Bank Bali dengan mencoba memanggil orang-orang yang diduga terkait dalam kasus Bank Bali.

7 Oktober 1999
Presiden BJ Habibie telah menyetujui pemeriksaan tiga pejabat tinggi di kabinet waktu itu, salah satunya Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, sebagai saksi dalam kasus skandal Bank Bali.

29 November 1999
Kejaksaan Agung menyatakan telah menerima surat izin pemeriksaan Syahril Sabirin. Pemeriksaan Syahril menjadi menarik setelah Wakil Dirut Bank Bali Firman Soetjahja saat diperiksa tim penyidik mengakui adanya pertemuan di Hotel Mulia pada 11 Februari 1999 yang membahas soal cessie.

5 Juni 2000
Gubernur BI Syahril Sabirin resmi jadi tersangka kasus Bank Bali. Dia dipersalahkan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang merupakan prinsip perbankan.

21 Juni 2000
Syahril Sabirin ditahan di Kejaksaan Agung.

28 Agustus 2000
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Soedarto membebaskan Joko dari tuntutan hukum. Majelis berpendapat, kasus Joko bukan termasuk pidana,  melainkan  perdata.  Sebelumnya,  jaksa  Antasari  Azhar  menuntutnya  18  bulan penjara.

28 Juni 2001
Mahkamah Agung kembali memenangkan Joko S. Tjandra. Majelis Hakim Agung memperkuat argumentasi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, satu anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion dengan menyatakan Joko bersalah melakukan korupsi.

13 Maret 2002
Syahril Sabirin divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dihukum tiga tahun penjara.

Maret 2002
Mahkamah Agung menolak gugatan EGP di PTUN yang meminta agar surat keputusan mengenai pembatalan pengalihan tagihan Bank Bali ke EGP oleh BPPN dicabut.

Agustus 2002
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan.

12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk minta petunjuk.

17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

19 Juni 2003
BPPN minta fatwa MA dan penundaan eksekusi putusan MA yang membebaskan Joko S. Tjandra. Alasannya, ada dua putusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya, MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi.

Kerugian Negara Akibat Kasus Bank Bali

Berdasarkan pemaparan diatas, kerugian yang diderita oleh Negara akibat kasus cessie Bank Bali adalah Rp 546.166.116.369. Hal ini dikarenakan uang yang dikucurkan untuk penyelesaian pinjaman antar Bank oleh Negara melalui BPPN tidak dilakukan melalui prosedur yang benar dan regulasi atas penyelesaian pinjaman itu telah “dibolak - balik” melalui cara-cara politik agar meloloskan  niatan para tersangka. 


 Referensi :
http://www.tempo.co/read/news/2004/03/04/05540304/Kronologi-Skandal-Bank-Bali

http://www.antikorupsi.org/id/content/kasus-bank-bali-dana-rp-546-miliar-masuk-ke-kas-negara

https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/130663/kisah-berliku-duit-setengah-triliun?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

PENTINGNYA AUDIT SDM UNTUK PERUSAHAAN

Pengembangan produktivitas suatu perusahaan  salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan SDM yang terintegrasi dengan pendekatan sistem secara keseluruhan. Hal ini dapat dicapai dengan cara melakukan audit (penilaian) terhadap diri sendiri sebagai langkah pertama menuju perbaikan yang terus menerus (continuous improvement).Setelah itu, departemen SDM dapat menemukan dan memperbaiki masalah-masalah sebelum masalah tersebut menjadi serius.
audit sumber daya manusia merupakan tinjauan berkala yang dilakukan oleh departemen sumber daya manusia untuk mengukur efektifitas penggunaan sumber daya manusia yang terdapat di dalam suatu perusahaan. Selain itu, audit memberikan suatu perspektif yang komprehensif terhadap praktik yang berlaku sekarang, sumber daya, dan kebijakan manajemen mengenai pengelolaan SDM serta menemukan peluang dan strategi untuk mengarahkan ulang peluang dan strategi tersebut. Intinya, melalui audit dapat menemukan permasalahan dan memastikan kepatuhan terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan dan perencanaan strategis perusahaan.
Manfaat Audit Sumber Daya Manusia yaitu :
·        Mengidentifikasi kontribusi-kontribusi departemen sumber daya manusia bagi organisasi
·        Meningkatkan citra profesional departemen sumber daya manusia
·        Mendorong tanggung jawab dan profesionalisme yang lebih besar di antara anggota-anggota departemen sumber daya manusia
·        Menjernihkan tugas-tugas dan tanggung jawab departemen sumber daya manusia
·        Merangsang keseragaman berbagai kebijakan dan praktek sumber daya manusia
·        Menemukan masalah-masalah sumber daya manusia yang kritis
·        Memastikan ketaatan yang tepat waktu terhadap ketentuan-ketentuan illegal
·        Mengurangi biaya-biaya sumber daya manusia melalui prosedur personalia yang efektif
·   Menciptakan peningkatan penerimaan terhadap perubahan-perubahan yang dibutuhkan di dalam departemen sumber daya manusia
·        Mewajibkan suatu telaah yang cermat atas sistem informasi departemen
Maka, Kepentingan Audit SDM untuk perusahaan yaitu untuk melihat bagaimana kinerja para karyawannya apakah sesuai dengan ketentuan seperti :
·        Untuk Mengetahui prestasi karyawan
·        Untuk menetapkan besarnya kompensasi yang sesuai dengan karyawan yang bersangkutan
·        Untuk menetapkan apakah karyawan perlu dimutasi atau diberhentikan
·        Untuk mengetahui apakah karyawan bias bekerja sama dengan rekannya
Audit SDM dilakukan bertujuan agar fungsi SDM pada perusahaan dapat mengevaluasi kinerja karyawan untuk meningkatkan produktivitas suatu perusahaan


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

UMP/UMR(UMK) Setiap Provinsi dan Daerah Tahun 2019

Gaji UMP 2019 di Setiap Daerah


Provinsi
Upah Minimum Provinsi
2018
2019
Provinsi Aceh
Rp2.717.750
Rp2.935.985
Provinsi Sumatera Utara
Rp2.132.188
Rp2.303.402
Provinsi Sumatera Barat
Rp2.119.067
Rp2.289.228
Provinsi Riau
Rp2.464.154
Rp2.662.025
Provinsi Kepulauan Riau
Rp2.563.875
Rp2.769.754
Provinsi Jambi
Rp2.243.718
Rp2.423.888
Provinsi Sumatera Selatan
Rp2.595.995
Rp2.804.453
Provinsi Bangka Belitung
Rp2.755.443
Rp2.976.705
Provinsi Bengkulu
Rp1.888.741
Rp2.040.406
Provinsi Lampung
Rp2.074.673
Rp2.241.269
Provinsi DKI Jakarta
Rp3.648.035
Rp3.940.972
Provinsi Jawa Barat
Rp1.544.360
Rp1.668.372
Provinsi Banten
Rp2.099.385
Rp2.267.965
Provinsi Jawa Tengah
Rp1.486.065
Rp1.605.396
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Rp1.454.154
Rp1.570.922
Provinsi Jawa Timur
Rp1.508.894
Rp1.630.058
Provinsi Bali
Rp2.127.157
Rp2.297.967
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Rp1.825.000
Rp1.971.547
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Rp1.660.000
Rp1.793.298
Provinsi Kalimantan Utara
Rp2.559.903
Rp2.765.463
Provinsi Kalimantan Barat
Rp2.046.900
Rp2.211.266
Provinsi Kalimantan Tengah
Rp2.412.305
Rp2.615.735
Provinsi Kalimantan Selatan
Rp2.454.671
Rp2.651.781
Provinsi Kalimantan Timur
Rp2.543.331
Rp2.747.560
Provinsi Sulawesi Utara
Rp2.824.286
Rp3.051.076
Provinsi Sulawesi Barat
Rp2.193.530
Rp2.369.670
Provinsi Sulawesi Tengah
Rp1.965.232
Rp2.123.040
Provinsi Sulawesi Tenggara
Rp2.177.052
Rp2.351.869
Provinsi Sulawesi Selatan
Rp2.647.767
Rp2.860.382
Provinsi Gorontalo
Rp2.206.813
Rp2.384.020
Provinsi Maluku
Rp2.222.220
Rp2.400.664
Provinsi Maluku Utara
Rp2.147.022
Rp2.319.427
Provinsi Papua Barat
Rp2.667.000
Rp2.881.160
Provinsi Papua
Rp2.895.650
Rp3.128.170

  
Gaji UMR 2019 di Indonesia (UMK)
Kota
Upah Minimum 2019
Kabupaten Karawang
Rp4.234.010
Kota Bekasi
Rp4.229.756
Kabupaten Bekasi
Rp4.146.126
Kota Depok
Rp3.872.551
Kota Bogor
Rp3.842.785
Kabupaten Bogor
Rp3.763.405
Kabupaten Purwakarta
Rp3.722.299
Kota Bandung
Rp3.339.580
Kabupaten Bandung Barat
Rp2.898.744
Kabupaten Sumedang
Rp2.893.074
Kabupaten Bandung
Rp2.893.074
Kota Cimahi
Rp2.893.074
Kabupaten Sukabumi
Rp2.791.016
Kabupaten Subang
Rp2.732.899
Kabupaten Cianjur
Rp2.336.004
Kota Sukabumi
Rp2.331.752
Kabupaten Indramayu
Rp2.117.713
Kota Tasikmalaya
Rp2.086.529
Kabupaten Tasikmalaya
Rp2.075.189
Kota Cirebon
Rp2.045.422
Kabupaten Cirebon
Rp2.024.160
Kabupaten Garut
Rp1.807.285
Kabupaten Majalengka
Rp1.791.693
Kabupaten Kuningan
Rp1.734.162
Kabupaten Ciamis
Rp1.733.162
Kabupaten Pangandaran
Rp1.714.673
Kota Banjar
Rp1.688.217
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Rp3.940.972
Kota Cilegon
Rp3.913.078
Kota Tangerang
Rp3.869.717
Kota Tangerang Selatan
Rp3.841.368
Kabupaten Tangerang
Rp3.841.368
Kabupaten Serang
Rp3.827.193
Kota Serang
Rp3.366.512
Kabupaten Pandeglang
Rp2.542.539
Kabupaten Lebak
Rp2.498.068
Kota Semarang
Rp2.498.587
Kabupaten Demak
Rp2.240.000
Kabupaten Kendal
Rp2.084.393
Kabupaten Semarang
Rp2.055.000
Kota Salatiga
Rp1.875.325
Kabupaten Grobogan
Rp1.685.500
Kabupaten Blora
Rp1.690.000
Kabupaten Kudus
Rp2.044.467
Kabupaten Jepara
Rp1.879.031
Kabupaten Pati
Rp1.742.000
Kabupaten Rembang
Rp1.660.000
Kabupaten Boyolali
Rp1.790.000
Kota Surakarta
Rp1.802.700
Kabupaten Sukoharjo
Rp1.783.500
Kabupaten Sragen
Rp1.673.500
Kota Magelang
Rp1.707.000
Kabupaten Magelang
Rp1.882.000
Kabupaten Karanganyar
Rp1.833.000
Kabupaten Wonogiri
Rp1.655.000
Kabupaten Klaten
Rp1.795.061
Kabupaten Purworejo
Rp1.700.000
Kabupaten Temanggung
Rp1.682.027
Kabupaten Wonosobo
Rp1.712.500
Kabupaten Kebumen
Rp1.686.000
Kabupaten Banyumas
Rp1.750.000
Kabupaten Cilacap
Rp1.989.058
Kabupaten Banjarnegara
Rp1.610.000
Kabupaten Purbalingga
Rp1.788.500
Kabupaten Batang
Rp1.900.000
Kabupaten Pekalongan
Rp1.859.885
Kota Pekalongan
Rp1.906.922
Kabupaten Pemalang
Rp1.718.000
Kota Tegal
Rp1.762.000
Kabupaten Tegal
Rp1.747.000
Kabupaten Brebes
Rp1.665.850
Kota Surabaya
Rp3.871.052
Kabupaten Gresik
Rp3.867.874
Kabupaten Sidoarjo
Rp3.864.696
Kabupaten Pasuruan
Rp3.861.518
Kabupaten Mojokerto
Rp3.851.983
Kabupaten Malang
Rp2.781.564
Kota Malang
Rp2.668.420
Kota Batu
Rp2.575.616
Kabupaten Jombang
Rp2.445.945
Kabupaten Tuban
Rp2.333.641
Kota Pasuruan
Rp2.575.616
Kabupaten Probolinggo
Rp2.306.944
Kabupaten Jember
Rp2.170.917
Kota Mojokerto
Rp2.263.665
Kota Probolinggo
Rp2.137.864
Kabupaten Banyuwangi
Rp2.132.779
Kabupaten Lamongan
Rp2.233.641
Kota Kediri
Rp1.899.294
Kabupaten Bojonegoro
Rp1.858.613
Kabupaten Kediri
Rp1.850.986
Kabupaten Lumajang
Rp1.826.831
Kabupaten Tulungagung
Rp1.805.219
Kabupaten Bondowoso
Rp1.801.406
Kabupaten Bangkalan
Rp1.801.406
Kabupaten Nganjuk
Rp1.801.406
Kabupaten Blitar
Rp1.801.406
Kabupaten Sumenep
Rp1.801.406
Kota Madiun
Rp1.801.406
Kota Blitar
Rp1.801.406
Kabupaten Sampang
Rp1.763.267
Kabupaten Situbondo
Rp1.763.267
Kabupaten Pamekasan
Rp1.763.267
Kabupaten Madiun
Rp1.763.267
Kabupaten Ngawi
Rp1.763.267
Kabupaten Ponorogo
Rp1.763.267
Kabupaten Pacitan
Rp1.763.267
Kabupaten Trenggalek
Rp1.763.267
Kabupaten Magetan
Rp1.763.267

Mengapa Upah Minimum ditiap daerah berbeda-beda?

Menurut saya sebagai berikut :
Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Adapun KHL itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100 kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya.

Untuk menetapkan KHL tersebut, Dewan Pengupahan biasanya melakukan survei terlebih dahulu di wilayahnya. Sehingga KHL yang dimaksud merupakan kebutuhan hidup yang ada berada dalam konteks wilayah tersebut. Itu yang menjadi dasar penetapan upah minimum.

Untuk itu, upah minimum akhirnya bisa berbeda-beda di tiap wilayah. Karena KHL di setiap wilayah juga berbeda-beda nilainya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh daya beli dan inflasi di daerah tersebut. Dengan demikian, upah minimum tidak dapat disamakan di setiap daerah karena daya beli masyarakat dan nilai kebutuhannya juga berbeda-beda.

Misalnya, sebuah keluarga di Jakarta rata-rata menghabiskan biaya hingga 300-400 ribu rupiah untuk makan dalam sehari, sedangkan di Jawa Tengah, misalnya, hanya menghabiskan biaya sekitar 100 ribu rupiah. Jakarta sebagai pusat aktivitas ekonomi dan politik tentunya memiliki biaya hidup yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Tengah. Perbedaan itu akhirnya mempengaruhi nilai nominal upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga tampak di hadapan publik bahwa upah minimum berbeda-beda di tiap wilayah.

Dari tabel diatas, UMP/UMK(UMR) pada tahun 2019 berdasarkan provinsi, posisi tertinggi diduduki oleh DKI Jakarta dengan upah minimum sebesar Rp3.940.972 sedangkan posisi terendah diduduki oleh DI Yogyakarta dengan upah minimum sebesar Rp1.570.922. Benar saja, penetapan upah minimum ditentukan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) para pekerja di setiap provinsi masing – masing dalam memenuhi kebutuhan mendasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan dan lainnya. Sehingga UMP/UMK(UMR) provinsi DI Yogyakarta lebih rendah dari DKI Jakarta karena dipengaruhi oleh biaya hidup, daya beli dan inflasi masing – masing provinsi.

Sumber :
https://alphapay.id/ump-umk-umr-2019/


Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Older Posts

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (2)
  • November 2019 (1)
  • Juni 2019 (1)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Oktober 2017 (4)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (1)
  • Maret 2017 (1)
  • Januari 2017 (1)
  • November 2016 (1)
  • Oktober 2016 (3)
  • September 2016 (1)
  • November 2015 (1)
  • April 2014 (2)
  • Maret 2014 (1)

Gunadarma University

Gunadarma University

Laporkan Penyalahgunaan

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Mengenai Saya

Rizki Agung Indrawan
Lihat profil lengkapku

Followers

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates